Selasa, 07 Juni 2011

Landasan BK "Landasan Sosial Budaya"


A.          Kajian Teoritis
Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang individu pada dasarnya merupakan produk lingkungan sosial-budaya dimana ia hidup. Sejak lahirnya, ia sudah dididik dan dibelajarkan untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan sosial-budaya yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan sosial-budaya dapat mengakibatkan tersingkir dari lingkungannya. Lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi dan melingkupi individu berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam proses pembentukan perilaku dan kepribadian individu yang bersangkutan. Apabila perbedaan dalam sosial-budaya ini tidak “dijembatani”, maka tidak mustahil akan timbul konflik internal maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat menghambat terhadap proses perkembangan pribadi dan perilaku individu yang besangkutan dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.
Kebudayaan akan bimbingan timbul karena terdapat faktor yang menambah rumitnya keadaan masyarakat dimana individu itu hidup. Faktor-faktor tersebut seperti perubahan kontelasi keuangan, perkembagan pendidikan, dunia-dunia kerja, perkembangan komunikasi dll (Jonh), Pietrofesa dkk, 1980; M. Surya & Rochman N, 1986; dan Rocman N, 1987)
1.      Individu sebagai Produk Lingkungan Sosial Budaya
MC Daniel memandang setiap anak, sejak lahirnya harus memenuhi tidak hanya tuntutan biologisnya, tepapi juga tuntutan budaya ditempat ia hidup, tuntutan Budaya itu menghendaki agar ia mengembangkan tingkah lakunya sehingga sesuai dengan pola-pola yang dapat diterima dalam budaya tersebut.
Fullmer memandang lebih jauh individu mencapai kemanusiaannyayang unik itu berkat pengaruh nilai-nilai, aspirasi, ide-ide, harapan dan keinginan yang ditujukan kepadanya melalui lembaga-lembaga yang sengaja dikembangkan, yang semuanya itu berada dalam khasanah kebudayaan manusia.
Tolbert memandang bahwa organisasi sosial, lembaga keagamaan, kemasyarakatan, pribadi, dan keluarga, politik dan masyarakat secara menyeluruh memberikan pengaruh yang kuat terhadap sikap, kesempatan dan pola hidup warganya. Unsur-unsur budaya yang ditawarkan oleh organisasi dan budaya lembaga-lembaga tersebut mempengaruhi apa yang dilakukan dan dipikirkan oleh individu, tingkat pendidikan yang ingin dicapainya, tujuan-tujuan dan jenis-jenis pekerjaan yang dipilihnya, rekreasinya dan kelompok-kelompok yang dimasukinya.
Padersen memandang seluruh pengaruh unsur-unsur sosial-budaya dalam segenap tingkatannya tersebut membentuk unsur-unsur subjektif pada diri individu. Unsur-unsur subjektif itu meliputi berbagai konsep dan asosiasi, sikap, lepercayaan, penilaian, harapan dan keinginan, ingatan, pendapat, persepsi tentang peranan, stereotip, dan nilai.
Bimbingan konseling harus mempertimbangkan aspek sosial budaya dalam pelayanannya agar menghasilkan pelayanan yang lebih efektif.
2.      Bimbingan dan Konseling Antara Budaya
Menurut Pedersen, dkk ada 5 macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi non verbal, stereotip, kecenderungan menilai, dan kecemasan.
Menurut Sue dkk. (1992) konselor yang diharapkan akan berhasil dalam menyelenggarakan konseling antarbudaya adalah mereka yang telah mengembangkan tiga dimensi kemampuan, yaitu dimensi keyakianan dan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang sesuai dengan klien antarbudaya yang akan dilayani.
Pedersen mengemukakan bahwa perbedaan dalam latar belakang ras atau etnik, kelas sosial ekonomi dan pola bahasa menimbulkan masalah dalam hubungan konseling, dari awal pengembangan hubungan yang akrab dan saling mempercayai (rapport) antara klien dan konselor, penstrukturan suasana konseling, sampai peniadaan sikap menolak diri klien.
Beberapa Hipotesis yang dikemukakan Pedersen dkk (1976) tentang berbagai aspek konseling budaya antara lain:
- Makin besar kesamaan harapan tentang tujuan konseling antara budaya pada diri konselor dan klien maka konseling akan berhasil
- Makin besar kesamaan pemohonan tentang ketergantungan, komunikasi terbuka, maka makin efektif konseling tersebut
- Makin sederhana harapan yang diinginkan oleh klien maka makin berhasil konseling tersebut
- Makin bersifat personal, penuh suasana emosional suasana konseling antar budaya makin memudahkan konselor memahami klien.
- Keefektifan konseling antara budaya tergantung pada kesensitifan konselor terhadap proses komunikasi
- Keefektifan konseling akan meningkat jika ada latihan khusus serta pemahaman terhadap permasalahan hidup yang sesuai dengan budaya tersebut.
- Makin klien kurang memahami proses konseling makin perlu konselor /program konseling antara budaya memberikan pengarahan tentang proses ketrampilan berkomunikasi, pengambilan keputusan dan transfer.
-  Model konsleing yang khusus dirancang untuk pola budaya tertentu akan efektif digunakan terhadap klien-klien yang berasal dari budaya tersebut daripada budaya lainnya
-  Konseling antarbudaya akan efektif apabila konselor memperlihatkan perhatian kepada kliennya sebagai seorang individu yang spesial .

B.           Permasalahan-permasalahan yang Terjadi Dalam Landasan Sosial Budaya
Dalam proses konseling akan terjadi komunikasi interpersonal antara konselor dengan klien, yang mungkin antara konselor dan klien memiliki latar sosial dan budaya yang berbeda. Pederson dalam Prayitno (2003) mengemukakan lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi sosial dan penyesuain diri antar budaya, yaitu :
(a)  Perbedaan bahasa
Dalam perbedaan bahasa ini dapat meimbulkan permasalahan yang terjadi dalam Bimbingan Konseling yaitu, ketiadaan penguasaan bahasa asing yang dipakai oleh konselor atau guru pembimbing dalam proses konseling dengan latar budaya yang berbeda akan menyebabkan komunikasi dapat berhemti sama sekali, atau tersendat-sendat yang mengakibatkan terjadinya kekurang pengertian dan menimbulkan kesalahpahaman.
(b) Komunikasi non-verbal
Dalam menggunakan Bahasa non-verbal pun sering kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan mungkin bertolak belakang. Pesan-pesan yang disampaikan melalui isyarat, tanda-tanda atau bahasa non-verbal lainnya tidak banyak menolong, bahkan sering isyarat dan tanda-tanda yang sama dalam bahasa non-verbal itu memiliki arti yang berbeda-beda atau bahkan bertentangan dalam budaya yang berbeda dalam melakukan proses konseling. Sehingga hal tersebut dapat menimbulkan permasalahan dalam bimbingan konseling, yaitu masih adanya konselor atau guru pembimbing dalam melakukan proses konseling kurang dapat memahami bahasa non-verbal muridnya pada saat melakukan konseling dengan muridnya yang latar belakang budayanya berbeda, hal ini mengakibatkan sulitnya mengetahui penanganan apa yang seharusnya diberikan kepada muridnya dalam membantu menyelesaikan permasalahannya.
(c) Stereotipe
Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu atau golongan tertentu berdasarkan prasangka subyektif (social prejudice) yang biasanya tidak tepat. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan yaitu menyebabkan seorang konselor atau guru pembimbing memandang sesuatu (khususnya orang lain) menurut kemauan orang yang memandangnya itu berdasarkan anggapan-anggapan yang sudah tertanam pada dirinya dan orang tersebut biasanya tidak mau menerima kenyataan-kenyataan yang berbeda dari anggapan-anggapannya, sehingga hal ini akan mempersulit proses konseling berjalan dengan baik.
(d) Kecenderungan menilai
Penilaian terhadap orang lain memang sering dilakukan oleh individu-individu yang berkomunikasi. Kecenderungan menilai ini baik yang menghasilkan penilaian positif positif maupun negatif, seringkali didasarkan pada standar objektif, dan sering pula merangsang timbulnya reaksi-reaksi baik positif maupun negatif dari pihak yang menilai. Masih banyak guru-guru pembimbing disekolah yang mengahdapi siswanya yang melakukan kesalahan kemudian langsung memberikan penilaian terhadap siswanya tersebut tanpa mencari tahu apa yang menyebabkan permasalahan itu timbul.
(e) Kecemasan.
Sumber hambatan komunikasi dan penyesuaian yang lain ialah kecemasan yang ada pada pihak-pihak yang berinteraksi dalam suasana antarbudaya.  Kecemasan muncul ketika seorang individu memasuki lingkungan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing. Kecemasan yang berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya dapat menuju ke culture shock, yang menyebabkan dia tidak tahu sama sekali apa, dimana dan kapan harus berbuat sesuatu. Pada saat melakukan proses konseling masih ada konselor atau guru pembimbing yang mengalami kecemasan karena hambatan komunikasi dan penyesuaian dengan kliennya yang berbeda latar belakang budayanya, hal ini menimbulkan permasalahan sehingga proses konseling akan berjalan kaku tanpa komunikasi yang lancar.
Agar komuniskasi sosial antara konselor dengan klien dapat terjalin harmonis, maka kelima hambatan komunikasi tersebut perlu diantisipasi.

C.          Solusi Dari Permaslaaha-permasalahan yang Terjadi Dalam Landasan Sosial Budaya
Solusi utama dari permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam Landasan Sosial Budaya, yaitu dengan adanya konseling profesional yang bersifat antarbudaya, atau bahkan multibudaya, yang merupakan kebutuhan yang amat mendesak bagi terselenggaranya pelayanan yang etis, dan hal ini merupakan bagian yang integral dari tugas profesional bimbingan dan konseling. Selain itu, meskipun agakmya tidak mungkin mengharapkan sebagian besar konselor memiliki keakraban dan keterampilan yang tinggi terhadap spektrum sosial budaya yang luas dan berbeda-beda, adalah tetap dimungkinkan, dan bahkan menjadi kewajiban kita, untuk menekankan (kepada seluruh konselor) penting dan perlunya sikap menghargai dan menjadi pertimbangan utama segenap aspek lingkungan sosial budaya yang unik yang berpengaruh terhadap tingkah laku klien.
Tuntutaan tentang kompetensi konselor di atas membawa implikasi terhadap pribadi-pribadi konselor serta sekaligus lembaga pendidikan dan latihan bagi konselor untuk meghilangkan permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam Landasan Sosial Budaya. Kurikulum dan program pendidikan serta latihan (teori dan praktek) oleh konselor perlu mencakup pengkajian dan kegiatan praktek lapangan berkenaan dengan aspek-aspek sosial budaya klien yang berbeda-beda. Hal ini merupakan solusi kedua agar para Konselor dan guru pembimbing mengetahui secara mendalam tentang berbagai unsur konseling antarbudaya.
Terkait dengan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia, Moh. Surya (2006) mengetengahkan tentang tren bimbingan dan konseling multikultural, bahwa bimbingan dan konseling dengan pendekatan multikultural sangat tepat untuk lingkungan berbudaya plural seperti Indonesia. Hal tersebut merupakan solusi ketiga dari permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam Landasan Sosial Budaya. Bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan landasan semangat bhinneka tunggal ika, yaitu kesamaan di atas keragaman. Layanan bimbingan dan konseling hendaknya lebih berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata mampu mewujudkan kehidupan yang harmoni dalam kondisi pluralistik.